Mengurai “Benang Kusut” Politik Kontemporer Indonesia Menuju Indonesia  Emas 2045

Artikel, Politik145 views

“Jangan pernah mempercayai apa pun dalam politik sampai hal itu resmi diingkari.”-Otto Von Bismarck

 

BEKASIHARIINI.COM | Kekuasaan itu nikmat. Kekuasaan itu dahsyat. Kekuasaan itu syahwat. Berkuasa bisa kaya. Berkuasa bisa dipuja. Berkuasa bisa lupa semua.

Itulah gambaran sederhana paradigma kaum pemburu kekuasaan di era Pasca Reformasi 1998. Mereka adalah kaum Politisi yang tercipta karena situasi, kondisi dan sistem politik yang dibentuk dan terbentuk setelah tumbangnya orde baru pimpinan Diktator Soeharto.

Setelah 32 tahun negeri ini “dijajah” oleh sistem politik diktator – otoritarian era Orde Baru, justru harapan dan keinginan untuk merubah model tersebut ke arah yang lebih demokratis tak terwujud. Cita2 Reformasi 1998 justru makin menjauh dan memunculkan sistem dan model politik neo otoritarianisme & tirani Pasca Reformasi.

“The consolidation of power within the elite political and business spheres has stifled civil society and dissenting voices, fostering a climate of political apathy and fear”demikian tulis Ward Berenschot, seorang Professor Ilmu Perbandingan Antropologi Politik di Universitas Amsterdam (2023) terkait kondisi Politik Indonesia Pasca Reformasi 1998.

Kebebasan yang diimpikan karena terbelenggu tirani orde baru, justru kebablasan. Pemberantasan KKN yang menjadi salah satu cita2 Reformasi justru makin marak dan tak terkendali.

Aturan hukum dipreteli demi kepentingan dinasti dan kekuasaan. Etika dalam politik tak lagi menjadi fatsoen standar yang menjunjung tinggi nilai2 moralitas dan keadaban. Pragmatisme jalan pintas, transaksional yang bersandarkan kepada modal uang, pencitraan semu penuh tipu2 dan korupsi yang makin membudaya dalam birokrasi serta jaringan kaum politikus menjadi sebuah keniscayaan.

Karut-marut ini seperti benang kusut yang tak bisa lagi diurai untuk mendapatkan ujung permasalahan dan penyelesaian sistematis demi perbaikan dan kebaikan bangsa dimasa depan.

Lantas, _what next_ untuk masa depan politik, hukum dan demokrasi di negeri yang ber-Pancasila ini? Sepertinya kaum elite politik kita sudah lupa bahkan melupakan 5 (lima) nilai dasar negara yang sangat religius, moralistik dan demokratis tersebut.

Pancasila hanya menjadi slogan kosong kebangsaan tanpa makna substantif yang implementatif. Pancasila hanya menjadi “topeng” politik demi memburu kekuasaan dan kelanggengan dinasti tanpa mempedulikan kepentingan rakyat, bangsa dan negara untuk jangka panjang.

POLITIK NIRKOMPETENSI

Mengamati sistem dan model politik di negeri ini dalam satu dasawarsa terakhir (2014 – 2024) terlihat makin mengental dan membudayanya model kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) yang notabene seharusnya sudah menjadi “sejarah” masa lalu bangsa dengan tumbangnya era 32 tahun Otoritarianisme Soeharto.

26 tahun yang lalu (1998), bangsa Indonesia memasuki fase perubahan besar dalam perjalanannya membangun negeri. Titik awal untuk melakukan perubahan total atas sistem politik otoritarianisme-diktator menjadi sistem demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan dan suara rakyat (Miriam Budiardjo, 2008).

Namun, fakta yang kita lihat dan rasakan justru sebuah ironi dan kontradiksi politik. Terjadi fenomena kemunculan model politik neo-otoritarianisme, neo-KKN dan neo-feodalisme.

Kekuasaan justru dikolaborasikan dalam wujud mafia politik yang bernama Koalisi. Sarana Koalisi yang secara substantif bertujuan untuk membentuk kekuatan politik untuk dan atas nama kepentingan rakyat, bangsa dan negara, disalah-artikan menjadi konsolidasi partai politik untuk merebut kekuasaan demi kepentingan kelompok.

Kerakusan model Koalisi ini justru makin tak terkendali dengan berusaha merangkul semua parpol tanpa memperhatikan visi, misi dan ideologi yang beragam demi mencengkeram kekuasaan yang nir-oposisi. Walhasil, sistem kekuasaan tirani tanpa oposisi kontrol sebagai penyeimbang (check and balances) tak berjalan sebagaimana mestinya.

Padahal, salah satu prinsip utama demokrasi adalah berfungsinya sistem kontrol yang efektif, agar kekuasaan yang dijalankan secara serampangan dan disalah-gunakan demi kepentingan2 tertentu (abuse of power).

Konsekwensi logis dari sistem politik yang “uncontrolable” ini berdampak memarjinalkan sumber daya manusia (SDM) Kompeten yang justru sangat dibutuhkan negeri ini dalam bersaing di era society 5.0.

Pengisian jabatan2 strategis di level tinggi pada lembaga2 negara dan lembaga2 pemerintahan yang lebih berlandaskan kedekatan secara politis, nepotisme dan kolutif, beresiko menafikan kompetensi.

Ranah politik via jalur Partai Politik yang seharusnya menjadi magnet kader2 kompeten untuk mengisi jabatan2 strategis negara, justru dibelokkan dengan paradigma berburu tahta dan harta.

Nepotisme dan Dinasti Politik, lama kelamaan menjadi budaya baru di negeri ini. Tak usah kaget, jika banyak kaum Intelektual Bangsa yang kompeten dan profesional justru melihat ranah politik bukan jalur pengabdian untuk kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat. Mereka justru menghindar dan bersikap apatis, karena dunia politik negeri ini hingar-bingar dengan karut-marut KKN yang tak berkesudahan.

Perlu terobosan revolusioner untuk merevisi sistem, aturan dan mekanisme politik sebagai awal pengabdian yang tulus dan ikhlas bagi kaum intelektual, agar mereka tertarik dan menjadikan jalur politik sebagai sarana pengabdian keilmuan dan kompetensi untuk kemajuan, kesejahteraan dan kejayaan bangsa dimasa mendatang.

Jika tidak, bangsa ini makin terlilit dan terbelenggu dengan dunia politik yang vulgar, nir-etika dan “kotor” yang tak berkesudahan, dan tentu saja akan merugikan kita dan anak cucu dimasa mendatang, sebagaimana cita2 menuju Indonesia Emas 2045!

Bekasi, 21 Juli 2024

Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemikir Kebangsaan & Demokrasi)